
Seputar Indonesia Timur — Syarat Trump Dinilai Merugikan: Indonesia Wajib Impor Energi AS
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, memperkirakan bahwa kebijakan tarif 19 persen dari Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia bisa meningkatkan beban biaya impor, terutama untuk komoditas LNG (liquefied natural gas).
Kenaikan biaya ini muncul karena adanya syarat khusus dari Presiden AS Donald Trump. Agar tarif impor turun dari 32 persen menjadi 19 persen, Trump mewajibkan Indonesia untuk mengimpor energi dari AS senilai US$15 miliar, atau sekitar Rp244 triliun.
Biaya Impor dari AS Lebih Mahal Dibanding Negara Lain
Fabby menyebut bahwa LNG dari AS memiliki biaya logistik yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan impor gas dari Timur Tengah atau negara tetangga seperti Singapura. Ini karena jarak pengiriman yang jauh, sehingga memicu lonjakan ongkos distribusi.
“Impor LNG dari AS bisa 30–40 persen lebih mahal. Padahal industri nasional kita sangat bergantung pada gas, dan harga gas industri sudah ditetapkan oleh pemerintah. Lonjakan biaya ini bisa melemahkan daya saing industri dalam negeri,” ujar Fabby dalam wawancara di CNN Indonesia TV, Rabu (16/7).
Strategi Dagang Trump Dinilai Menekan Negara Mitra
Trump selama ini dikenal menerapkan strategi perang dagang dengan berbagai negara, termasuk Indonesia. Pada April lalu, ia mengancam akan mengenakan tarif 32 persen untuk produk asal Indonesia. Namun, setelah bertelepon langsung dengan Presiden Prabowo Subianto, Trump bersedia menurunkan tarif menjadi 19 persen—dengan catatan, Indonesia harus membeli energi, produk pertanian, serta 50 unit pesawat Boeing dari AS.
Fabby menyebut negosiasi ini sangat menekan karena tidak dilakukan atas dasar kesetaraan. Ia menilai bahwa penetapan tarif tersebut tidak berdasarkan aturan yang transparan, melainkan lebih pada pendekatan koersif terhadap negara mitra dagang.
“Banyak negara mendapat tekanan serupa. Pemerintah Indonesia akhirnya memberikan opsi kompromi, termasuk komitmen mengimpor LNG dan kerosin dari AS,” ungkapnya.
Tarif Terendah di ASEAN, Tapi Ada Risiko Tersembunyi
Meski tarif 19 persen ini tergolong paling rendah di ASEAN—lebih rendah dibanding Malaysia (25 persen), Vietnam (20 persen), Thailand dan Kamboja (36 persen), serta Laos dan Myanmar yang bahkan di atas 40 persen—Fabby mengingatkan bahwa rendahnya tarif belum tentu menguntungkan jika Indonesia harus membayar trade-off yang mahal.
“Angka tarif memang turun, tapi pertanyaannya: apa yang harus kita korbankan? Kepentingan Trump jelas, yaitu mengurangi defisit perdagangan dengan Indonesia dan memperluas akses pasar AS di sini,” tutup Fabby.